Mengenal Stockholm Syndrome Pada Korban KDRT: Pengertian, Gejala, dan Rekomendasi Penanganan Korban

Mengenal Stockholm Syndrome Pada Korban KDRT: Pengertian, Gejala, dan Rekomendasi Penanganan Korban


Durasi Waktu Baca: 3 Menit




Psikolog : Korban Memfokuskan Perhatian Pada Sisi Baik Pelaku Kekerasan 




Jakarta, Sekolah Cikal.Kekerasan dalam rumah tangga seringkali membuat korbannya menjadi terisolasi karena terbatasnya ruang gerak dan interaksi yang dilakukan. Bagi korban yang sudah berupaya melakukan tindakan pengaduan ke pihak berwajib baik itu kepolisian dan penyelamatan melalui pendampingan Psikolog. Namun, dalam beberapa kasus ada pula korban yang menghadapi Stockholm Syndrome


Psikolog Klinis Anak yang juga merupakan Konselor Anak di Sekolah Cikal, Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog atau yang akrab disapa Rendra menyebutkan bahwa Stockholm Syndrome merupakan sebuah mekanisme pertahanan bagi korban penculikan atau kekerasan yang memang sebetulnya jarang terjadi. 


Seperti apa sebetulnya penjelasan dari Stockholm Syndrome ini? Simak penjelasan dari Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog berikut ini. 


APA ITU STOCKHOLM SYNDROME?


Rendra menjelaskan bahwa Stockholm Syndrome merupakan sebuah mekanisme pertahanan atau strategi yang dilakukan oleh seorang korban penculikan atau tindak kekerasan untuk menghadapi kondisi yang terjadi agar bisa bertahan dari kekerasan yang berkelanjutan. 


“Stockholm Syndrome merupakan sebuah coping mechanism bagi korban penculikan ataupun tidak kekerasan dalam menghadapi kondisi yang terjadi agar bisa bertahan dari kekerasan yang berkelanjutan.” ucapnya. 


Dalam hal ini, Rendra menambahkan bahwa korban akan berusaha untuk bertahan, khususnya secara emosional, dengan cara memfokuskan diri pada kebaikan yang dimiliki pelaku dan memfokuskan juga pada keinginan untuk melindungi orang yang dicintainya. 


“Para korban akan berusaha untuk bertahan, khususnya secara emosional, dengan cara memfokuskan perhatian mereka pada sisi baik yang dimiliki oleh pelaku kekerasan. Namun, dengan adanya siklus kekerasan yang berkelanjutan dan juga isolasi dari dunia luar, lama-kelamaan korban akan memiliki keyakinan bahwa ia harus bertahan bersama dengan pelaku agar dirinya dan orang-orang yang ia cintai tetap selamat.” tambah Rendra. 


Sayangnya dalam hal ini korban kekerasan tidak memfokuskan perhatiannya pada dirinya sendiri sebagai korban, melainkan berada pada sisi atau perspektif pelaku kekerasan. Rendra dalam hal ini menyebutkan bahwa Stockholm Syndrome yang dialami oleh korban bukan lagi empati melainkan simpati berlebihan pada pelaku. 


“Pada akhirnya, korban hanya melihat dirinya berdasarkan perspektif pelaku, yakni sebagai objek kekerasan tanpa ada nilai lainnya. Selain itu, yang terjadi di sini adalah simpati berlebihan terhadap si pelaku, sudah bukan lagi empati.” ucapnya. 


Baca juga : Orang tua, Pahami Lebih Dalam Apa Itu Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penyebabnya dan Bentuknya


GEJALA  STOCKHOLM SYNDROME PADA KORBAN KDRT


Sebagai seorang ahli psikolog, Rendra menjelaskan bahwa gejala yang dialami oleh korban dengan Stockholm Syndrome selain adanya simpati yang berlebihan pada pelaku, korban juga menampilkan gejala terkait Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). 


“Selain adanya simpati berlebihan kepada pelaku, individu yang mengalami Stockholm Syndrome juga kerapkali menampilkan beberapa simtom atau gejala yang terkait dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), antara lain seperti, adanya ingatan kilas balik peristiwa yang ia alami secara berulang, merasakan ketidakpercayaan, kesal, gelisah, ataupun cemas yang berulang, Kesulitan untuk bersikap tenang, tidak bisa menikmati hal-hal yang dulu ia sukai dan kesulitan untuk berkonsentrasi.” tuturnya. 



REKOMENDASI PENANGANAN KORBAN KDRT DENGAN STOCKHOLM SYNDROME 


Dalam mengangani dan mendampingi korban KDRT yang mengalami Stockholm Syndrome, Psikolog Rendra memberikan pengingat bahwa kondisi korban KDRT dengan Stockholm Syndrome merupakan kasus penangangan yang jarang sekali, dan apabila ada, maka korban memiliki resiliensi yang masih cukup membantu dirinya menghadapi kasus KDRT yang sifatnya berulang.


“Perlu diingat bahwa sindrom ini jarang sekali muncul dalam kasus kekerasan atau penculikan. Umumnya, mereka yang berada dalam situasi berkekerasan berulang masih memiliki resiliensi yang cukup yang membantu mereka menguatkan insting untuk bertahan hidup dan keluar dari situasi tersebut.” ucapnya. 


Rendra pun memberikan rekomendasi bagi masyarakat secara umum apabila memiliki orang terdekat yang mengalami KDRT dan memiliki simpati berlebih atau gejala yang mirip dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam kasus KDRT yang dialaminya, alangkah baiknya dapat menjalani psikoterapi atau terapi obat-obatan. 


“Jika kita atau mungkin orang yang kita kenal ada yang mengalami sindrom ini, maka untuk penanganannya akan perlu kombinasi antara psikoterapi dengan terapi obat-obatan. Dalam proses psikoterapi, khususnya proses konseling, individu yang bersangkutan akan diajak untuk memahami pengalamannya, memahami bahwa perilaku simpatik yang ia tunjukan tidak lebih dari mekanisme untuk bertahan hidup, dan mempelajari cara untuk melanjutkan hidup secara mandiri, atau dikembalikan rasa berdayanya.” tutupnya. (*)


Baca juga : KDRT Dapat Berulang Terjadi, Pahami 4 Siklusnya Agar Dapat Menghindarinya!





Tanyakan informasi mengenai pendaftaran, program hingga kurikulum Cikal bagi anak berkebutuhan khusus melalui Whatsapp berikut : https://bit.ly/cikalcs (tim Customer Service Cikal)




Artikel ini ditulis dan dipublikasikan oleh Tim Digital Cikal 

  • Narasumber : Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog

  • Editor : Layla Ali Umar 

  • Penulis : Salsabila Fitriana


I'M INTERESTED